FDG Yayasan Lotus Kita: Mengawal Regulasi Pertanahan yang Berkeadilan

Pemerintah Indonesia sedang menghadapi tantangan serius terkait maraknya sengketa tanah di berbagai wilayah, termasuk kasus yang sangat kontroversial mengenai pulau Rempang. Sengketa tanah telah menjadi permasalahan yang melanda Indonesia selama beberapa dekade, dengan ribuan kasus yang terjadi setiap tahunnya.

Pulau Rempang, yang terletak di Kepulauan Riau, telah menjadi sorotan media belakangan ini. Sengketa ini melibatkan masyarakat setempat, investor, dan pemerintah daerah. Konflik ini bermula dari klaim kepemilikan lahan yang saling bertentangan antara kelompok masyarakat yang telah tinggal di pulau tersebut secara turun-temurun dan investor yang mengklaim memiliki hak legal atas tanah tersebut.

Kasus pulau Rempang hanyalah salah satu contoh dari banyak sengketa tanah yang terjadi di Indonesia. Faktor utama yang memperburuk situasi ini adalah akses terbatas terhadap informasi kepemilikan tanah yang akurat dan terdokumentasi dengan baik. Hal ini sering kali mengakibatkan tumpang tindih klaim tanah, penyalahgunaan wewenang, dan kekerasan fisik.

Dampak dari sengketa tanah ini sangat merugikan masyarakat, baik secara ekonomi maupun sosial. Masyarakat yang telah lama menempati tanah secara turun-temurun sering kali diusir atau terancam kehilangan tempat tinggal mereka. Selain itu, investor dan proyek pembangunan sering kali terhambat akibat ketidakpastian hukum dalam hal kepemilikan tanah.

Yayasan Lotus Kita sebagai organisasi masyarakat yang bergerak di bidang keagamaan, sosial dan pendidikan turut memberikan perhatian serius atas masalah ini dengan menggelar Fokus Discussion Grup bertema “Hukum Agraria dalam Persfektif Islam dan UU Pokok Agraria 1960” di Hotel Orchardz Jayakarta pada Selasa, 31 oktober 2023.

“Persoalan pertanahan di Indonesia membutuhkan kebijakan transparan dan efektif dalam hal penyelesaian sengketa tanah serta upaya perlindungan terhadap hak-hak masyarakat. Peran negara dalam ketegasan penegakan hukum menjadi kunci untuk mengurangi dampak dari maraknya sengketa tanah. Sehingga Yayasan Lotus Kita perlu mengambil bagian untuk turut memberikan kontribusi pemikiran dan saran kepada pemerintah dan edukasi publik. Untuk itu FDG ini diadakan agar dapat memberikan formula rekomendasi dalam mengurai sengkarut agraria ini, “ sambut Nadhirah Seha Nur, Ketua Yayasan Lotus Kita dalam pembukaan acara FDG yang dihadiri oleh 41 praktisi dan aktifis perwakilan dari berbagai organisasi masyarakat dan professional.

Ketua Departemen Keagamaan Yayasan Lotus Kita, Kristiati, selaku Penanggungjawab FDG, mengungkapkan bahwa FDG ini menghadirkan narasumber keislaman yaitu Dr. Ryan  dan pakar hukum Prof. Dr. Suparji Ahmad, SH., MH. Kedua pakar ini akan memandu FDG dan diharapkan dapat memberikan wawasan luas, mendalam, edukatif dan konstruktif agar peserta diskusi dapat mengeksplorasi pemikiran inovatif terkait masalah pertanahan yang sedang marak.

Ekonomi Islam Bukan Hanya Perbankan Syariah

Ketika isu Ekonomi Islam menjadi pembicaraan publik, seringkali pembahasan mengenai ekonomi Islam hanya terbatas pada perbankan syariah, padahal ada banyak lagi aspek lain yang perlu dipahami dalam ranah ini. Salah satu isu yang juga terkait dengan ekonomi Islam adalah masalah hukum pertanahan.

Pertanahan menjadi salah satu sektor penting dalam ranah ekonomi Islam. Meskipun tidak sering dibahas secara mendalam, namun memiliki implikasi signifikan terhadap ekonomi umat Muslim. Hukum pertanahan dalam Islam melibatkan aspek kepemilikan, pemanfaatan, dan penyelesaian sengketa tanah dengan prinsip-prinsip syariah.

Permasalahan hukum pertanahan dalam konteks ekonomi Islam beragam, mulai dari pergantian status tanah dari haram menjadi halal, penentuan batas dan pemisahan tanah, hingga penyelesaian sengketa tanah dengan berlandaskan prinsip keadilan dan kejujuran. Hal ini penting karena pemahaman yang baik tentang hukum pertanahan Islam dapat membantu masyarakat muslim dalam mengelola aset mereka dengan cara yang sesuai dengan prinsip-prinsip agama.

Mendorong pemahaman yang lebih luas tentang ekonomi Islam melalui pembahasan isu hukum pertanahan adalah langkah yang perlu diambil. Ini akan membantu masyarakat Muslim memahami betapa pentingnya melibatkan aspek agama dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam bidang ekonomi. Dengan demikian, ekonomi Islam akan menjadi lebih holistik dan komprehensif, memberikan manfaat yang lebih besar bagi seluruh umat muslim.

Hal tersebut disampaikan oleh Dr. Ryan, Akademisi dari ITENAS Bandung yang menjadi narasumber pada sesi pertama FDG “Hukum Agraria dalam Perfektif Islam”. Selanjutnya, filosofi tanah dalam Islam ada dua point, yaitu : 1. Pemilik hakiki dari tanah adalah Allah swt (Q.S An-Nur :33); 2. Allah sebagai pemilik hakiki telah memberikan kuasa kepada manusia mengelola tanah menurut hukum hukum Allah (Q.S Al Hadid :7). Sehingga impiliasi dari filosofi tersebut adalah pengelolaan tanah wajib menggunakan hukum Allah swt. hukum  Sang Pemilik Hakiki tanah.

Dalam paparannya, Dr Ryan juga menyampaikan bahwa menurut Islam, kepemilikan tanah didapatkan melalui 6 cara yaitu : jual beli, waris, hibah, ihya’ul mawat (menghidupkan tanah mati), tahjir (membuat batas pada tanah mati) dan iqhta’ (pemberian negara kepada rakyat).

UU Pokok Agraria 1960 dan Wacana Perubahan

Pada pengantar FDG Sesi Kedua, Prof. Dr. Suparji Ahmad, SH., MH, Guru Besar Universitas Al-Azhar Indonesia, menuturkan bahwa tanah dalam kehidupan mempunyai fungsi yang sangat penting, baik untuk individu maupun pemerintah. Tanah merupakan satu isu yang sangat penting bagi kelangsungan kehidupan manusia dan bangsa. UU PA 1960 ditetapkan sebagai dasar hukum pengelolaan kekayaan agraria nasional. Kekayaan agraria nasional tersebut mengacu kepada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi, “Bumi dan air dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Pembentukan UU ini dilakukan demi mewujudkan kemakmuran, kebahagiaan, keadilan bagi negara dan rakyat. Tujuannya adalah mewujudkan masyarakat adil dan makmur.

Pertanyaan yang timbul adalah bagaimana sebenarnya makna “untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” yang menjadi landasan UU Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960 itu dipahami dan diterjemahkan secara benar dalam berbagai kebijakan yang mendukung atau relevan di bidang pertanahan. Keadilan bukan merupakan konsep yang statis, tetapi suatu proses, suatu keseimbangan yang kompleks dan bergerak di antara berbagai faktor, termasuk equality.  

Prof. Dr. Suparji Ahmad juga menyampaikan melalui paper “Dinamika Pertanahan di Indonesia” bahwa pengaturan pertanahan sudah dimulai sejak masa Romawi kuno terefleksi pada adanya istilah naturalis dan naturalis possession, hingga pada masa lahirnya Agrarische Wet 1870 yang kemudian oleh kolonial belanda memberlakukannya di Indonesia. UU PA 1960 ini pada dasarnya lahir sebagai perlawanan terhadap kolonialisme yang telah merampas hak asasi rakyat Indonesia melalui Agrariche Wet 1870 itu. Di mana pada masa kolonial datang ke Indonesia melalui Statuta Batavia mengatakan bahwa para kapitalis yang tergabung dalam Vereenigde Oostindische Compagnie atau Perserikatan Perusahaan Hindia Timur, berkehendak untuk menancapkan hukum-hukum mereka. Didekritkan bahwa VOC merasa perlu mendirikan badan-badan peradilan baru di daerah yang dikuasainya  Pola yang digunakan adalah mengadakan perjanjian dengan pemilik sawah bahwa mereka tidak perlu membayar pajak bumi dengan syarat 1/5 dari tanahnya boleh ditanami nila, kopi dan lainnya. Sepak terjang kaum kapitalis yang tergabung dalam satu konsorsium dagang, memperlihatkan agresivitasnya dalam memperluas jangkauan produksi sesuai dengan ekspektasi mereka. Namun membiarkan atau mengakui tanah sebagai kepunyaan, untuk tidak mengatakan dimiliki oleh orang-orang pribumi karena terminologi milik yang memiliki padanan dalam tradisi hukum tanah orang pribumi, misalnya tanah yoso-yoso tetap tidak membuat terang konsepsi itu karena karakternya yang berbeda dengan terminologi milik-ownership dalam tradisi hukum barat. Birokratisnya jalur-jalur peraturan pemerintah Hindia Belanda mengurangi wibawa priyayi yang dasar politiknya justru hubungan pribadi. Pada periode 1945-1949, pemerintahan nasional belum sepenuhnya dapat menggunakan kewenangan yang digariskan dalam Konstitusi, khususnya Pasal 33 ayat UUD 1945.

Dari perkembangan FDG sejumlah pertanyaan dan pernyataan mendorong wacana perubahan UU PA 1960, yang didasarkan fenomena dan dinamika hukum pertanahan Indonesia saat ini. Pada masa orde baru, masalah agraria khususnya kepemilikan antara negara dan rakyat nyaris tak terdengar sebab UU Pokok Agraria lebih difokuskan pada kebijakan pembangunan, peningkatan produksi pangan dengan mengikuti Gerakan Revolusi Hijau serta transmigrasi. Di sisi lain pada masa itu media sepenuhnya masih dikuasai negara, sehingga sengketa lahan belum dapat diakses publik secara luas. Masa orde baru tidak mampu mengimplementasikan UU PA 1960 sejalan dengan pasal 33 UUD 1945 sebab pelaksanaan agenda agraria nasional hanya berhenti pada masalah teknis administratif serta menghapuskan legitimasi partisipasi dari organisasi massa rakyat tani. Banyak kasus para kepala suku adat yang memiliki tanah namun tidak bersertifikat hak milik, dimana dalam UU PA diakui sebagai tanah adat namun dialihkan kepada negara menjadi tanah milik pemerintah daerah baru sebagai bagian reformasi adminisitrasi wilayah di Indonesia. Hal ini berlangsung hingga era reformasi.

Pada masa reformasi, seiring perkembangan teknologi dan informasi, sengketa tanah menjadi semakin marak baik antar warga negara maupun antara negara dan rakyat sendiri. Kehadiran3 (tiga) peraturan presiden, yaitu, Perpres Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah di Kawasan Hutan, dan Perpres Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria serta Perpres 62 tahun 2023 tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria, dianggap oleh banyak pihak menambah sengkarut sengketa tanah menjadi meluas sebab memberikan privilege kepada pihak swasta dalam penguasaan tanah meiebihi ketentuan pada UU Pokok Agraria 1960, bahkan cenderung menghapuskan hak hak masyarakat adat terhadap kepemilikan tanah warisan leluhur sejak sebelum Indonesia lahir. Reforma Agraria sebagai program prioritas nasional dalam Nawa Cita pemerintahan Presiden Jokowi, diklaim sebagai penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Namun pada faktanya berpotensi merugikan masyarakat banyak dan menciptakan kapitalisme agraria.

FDG Yayasan Lotus Kita mengenai pertanahan di Indonesia menyimpulkan bahwa diperlukan lahirnya UU Pokok Agraria baru yang benar benar memiliki keandalan dalam melindungi segenap tumpah darah, tanah air dan sumber daya yang ada di dalamnya untuk digunakan bagi kemakmuran rakyat Indonesia.

Rekomendasi Focus Discusion Group Yayasan Lotus Kita

Diskusi aktif dan intens mewarnai rangkaian acara Fokus Discussion Grup dengan pertanyaan dan ulasan mendalam antara lain dari Moksen Idris Sirfefa, Sri Novakandi, Helwa Alkatiri, Rahmah, Bang Aboe, Bang  Budi, sehingga acara yang digelar mulai pukul 09.17 pagi tak terasa sudah senja menjelang maghrib. FDG pun berakhir pada pukul 17.15 dengan komitmen pengurus Yayasan Lotus Kita dan merekomendasikan solusi masalah agraria Indonesia, yaitu

  1. Mendorong lahirnya UU Pertanahan (Agraria) Syariah
  2. Berkomitmen untuk konsent terhadap masalah pertanahan demi keberlangsungan bangsa
  3. Siap mengawal regulasi pertanahan yang berkeadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
  4. Aktif dalam upaya terciptanya budaya masyarakat yang edukatif, sadar dan taat hukum.

Nantikan reportase dari  kegiatan Yayasan Lotus Kita berikutnya tema pendidikan dan sosial. ( by Hartaty Fatshaf)